BULAN YANG NAAS TENGGELAM - Kumpulan Puisi

LINTANG INDONESIA - PUISI

Puisi di bawah ini adalah puisi peserta lomba menulis puisi tingkat nasional. Puisi ini telah lolos seleksi dan akan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Fairy Tail". 



Bagi yang mau pesan buku ini, silakan klik link di bawah

👇👇👇👇👇👇👇👇👇


DUKUNG:




 BULAN  YANG NAAS TENGGELAM


Tanpa sebilah kata, kau memudar begitu saja.

Tanpa kau rembulan, aku sebagai malam harus mengapa.

Tanpa seberkas cerita, kau lenyap dengan arus pagi yang murka.

Tanpa cahyamu, tiada pelangi malam sampai menua.


Aku tahu, sebagai malam membutuhkan cahyamu.

Dan kau tahu, tempat bagi rembulan yaitu adalah malam.

Tapi kau masih kejar pagi dengan senyumu.

Dan kau larutkan rasa cinta malam dengan begitu kelam.



NEGERI DALAM DONGENG


Bercerita tentang keindahan alam.

Negeri siapa yang tak tahu tentang negeriku.

Berdiskusi tentang kecerdasan pikiran.

Negeri siapa yang tak mengakuinya.

Memanen suburnya rempah-rempah.

Negeri siapa yang tak iri dengan negeriku.


Alam bercerita tentang keindahan.

Mengayun-ayun derasnya ombak pantai.

Berhijauan rumput-rumput di padang safana di pegunungan.

Pulau menari-nari di atas alunan air surga.

Tapi alam tak bercerita tentang tsunami yang berdasi.

Rumput-rumput liar yang tumbuh seanaknya sendiri.

Derasnya ombak yang mengelabui pulau untuk dijual kesana-kesini.


Masih berdiskusi tentang kecerdasan.

Otak yang berjalan dengan begitu teliti.

Membabas persoalan demi persoalan tanpa kesalahan.

Anak muda menjunjung nama garuda berserakan di atas muka bumi.

Mencipta, merumus, menteorikan, bahkan menemu sesuatu yang tak masuk akal.

Sayang seribu sayang, mereka tandus tanpa dorongan.

Buku tergeletak tiada sanjungan.

Haruskah yang kaya duduk di atas jabatan.

Sedang yang miskin hanya bisa memandang.


Petani-petani dengan senyum bahagia menanam benih-benih usaha.

Dengan keringatnya ia ni'mati perjalananya.

Subur di setiap pelosok negeri.

Berharap dan berharap tinggi hasil jerihnya.

Sekian lama jerih dalam menunggu.

Petani menangis, melihat keringatnya tiada arti lagi.

Mahal keringat orang lain.

tiada arti keringat jiwa penghuni merah putih.


Kata mereka tanah kita tanah surga.

Hidup bahagia tidak cukup dengan kata-kata.

Kata meraka tanah kita tanah hukum.

Maling kelas kakap tertawa lebar.

Maling kelas teri hukuman mati.




KECIL DAN SEBATANG KARA


di manakah matahari pagi.

Kecil dan lusuh dengan segenggam koran di pelukanya.

senyuman yang seharusnya menyertainya.

Kian rentang dan sebatang kara.

Dengan pakain tipis dan sengat matahari panas.

Kaki mungilnya melaju dengan alas kaki yang berbeda.

Menatap anak sepantaran.

Tas yang digendong.

Pakaian rapi nan bersih.

Membuat tangisan dan bertanya-tanya.

""Di manakah ibu dan ayahku, aku terluka dan lemas letih""

Hujan deras membuat ia merenung di pojokan rumah kosong.

Dingin menggigil sebab basah kuyup tanpa kehangatan kedua orang tua.

Air mata dan tetesan hujan menyatu di atas pipi yang lusuh.

Menatap langit.

Memejamkan mata.

berharap cerita indah ada di atasnya.

Hujan masih sedu dan pilu.

Malam mencengkram tulang kecilnya.

Meringkuk menahan dingin.

Memaksa mata untuk terlelap.

Dikelilingi anjing-anjing yang hura-hura ria.

Antara takut, gelisah dan menahan dingin menjadi satu menerkam malamnya.

Letih mengiringi lelapnya.

Berpura-pura tegar walau rintihan selalu menyertainya."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.