Aku Pulang

 LINTANG INDONESIA - PUISI LOMBA CIPTA PUISI TINGKAT NASIONAL DEADLINE 15 APRIL 2022

Puisi di bawah ini adalah puisi para peserta lomba cipta puisi tingkat nasional, puisi ini akan dibukukan ke dalam buku : 



Aku Pulang

Karya : Syadidatul Fahmiyah


Ketika sore mulai menampakkan rona,

menengadah ke langit kau lari menghentak,

melongok tajam ke arah pertunjukan senja

yang meriah dari balik sekat cakrawala murung

itu.


Awan telah menumpahkan air matanya

bersama butiran-butiran sendu,

sisa perdebatan semalam dengan laut;

yang tak henti-hentinya mengeluh perihal badai;

yang menghardik lantas berderau di selasar suatu perkampungan hijau.


Kau berlayar pulang semampu gigihnya kaki;

sekurus tulang kering nan kecokelatan,

bersimbah lumpur-lumpur lesu

yang telah bersih bermandi air kencing dan tangisan hujan,

yang kau tinggalkan di sepanjang jalan pulang.


Kau didekap degup yang meletup-letup diantara denyut dan deru napas,

badan yang menggigil dan gemelatuk gigi yang cemas.


Kuncup jari-jarimu kisut, dikulum ludahnya awan yang berderai-derai, dihisap waktu dan sisa-sisa usia; kau kedinginan.


Punggung bungkuk yang tidak sekokoh dulu, telah terlalu lama memikul beban.

Surai-surai hitammu yang basah telah dipenuhi uban,

kulit kuning langsatmu telah gelap mengkilat disengat surya, berbedak lumpur dan dibasuh genangan peluh.

Sosokmu yang sudah tidak segagah dulu, kini kian rapuh; kau ringkih.


Di depan pintu itu, istrimu sedang menunggu,

cemas memandang hujan yang tak kunjung melepaskanmu.

Kau kedinginan; kau ringkih

Dan kau —


Kau pulang.


Badanmu kau tinggalkan 

di sekat sawah di bawah pohon waru nan terus diguyur hujan.

Tak berkutik dilahap angin, tak berkedip ditusuk dingin, tak terganggu disentil air, tak melawan dirongrong orang-orangan sawah 

dan langit yang terus gaduh berasak-asakan.


Kau pulang menghadap rumahmu

yang masih berdiri menunggu di balik wajah cemasnya itu.


“Aku pulang,” katamu sambil merengkuhnya walau kau basah setelah habis-habisan dikeroyok serdadu hujan, tapi rumahmu tak dengar.


“Aku pulang,” katamu lagi sembari mengecup kening kesayangan. 


Ia tak sadar bila kau telah menghadiahkan rengkuhan dan tubuh basahmu, bila kau sengaja telah mencuri ciuman di keningnya itu.


(Yang biasanya setiap pulang kerja langsung sungkem, mengecup pipi, saling merangkum nyaman, dituntun masuk, dibuatkan kopi:

sudah tidak lagi)


Kau terus merayunya, mencari sepasang mata teduhnya yang diliput kecemasan.

Kau kembali mengajaknya bicara, tapi tak satu pun kata di balasnya;

seolah-olah kau tidak dilihatnya,

seolah-olah kau tidak dikenalnya, dan

seolah-olah kau tak pernah ada.


Lalu, datanglah burung pembawa pesan, dengan wajah duka yang mengiringi air tuhan, merapat ke teras rumahmu.


“Ada apa?” Istrimu bertanya dengan kecemasan.


(Kau diam)


“Pak tua … di sawah sana—


Belum tamat kalimat itu, istrimu telah pergi lebih dulu.


Sedangkan kau sudah di rumah.

Sudah merayunya, mencari sepasang mata teduhnya, merengkuhnya, menciumnya, mengajaknya bicara, walau tak kunjung kata dibalasnya;

Seolah-olah kau tidak dilihatnya,

Seolah-olah kau tidak dikenalnya, dan

Seolah-olah kau tak pernah ada.


Istrimu pergi, pak Tua.

Ia menjemputmu ke sawah itu,

yang tinggal jasadnya,

sedangkan rohmu telah berpulang; 

kau tenang di sana.




Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.